Pertama Kalinya Karakter Superhero Digambarkan Alami Autisme

16.22


















Jakarta, Film superhero anak-anak yang populer di era 90-an, Power Rangers akan di-remake dengan format serba baru. Tak hanya pemerannya tetapi juga karakter mereka.

Menariknya, salah satu dari lima karakter Ranger dalam film ini digambarkan sebagai seseorang dengan autisme. Karakter yang dimaksud adalah Billy, si Ranger Biru.

RJ Cyler, aktor yang memerankan Ranger Biru mengaku untuk bisa mendalami perannya, Cyler yang pernah membintangi film 'Me and Earl and the Dying Girl' ini mengaku belajar untuk 'lebih banyak diam dan mendengarkan'.

"Tetapi ada tanggung jawab lain di sini, di mana saya harus mengatakan bahwa orang-orang dengan spektrum ini adalah orang biasa juga. Cara bicara saya dan karakter lain sama saja, emosinya juga sama, dan sama-sama ingin dicintai,".

Terlebih itu, Cyler bangga bisa memerankan karakter yang berbeda karena ini dapat memberikan arti bagi banyak orang, utamanya mereka yang mengalami autisme.

Ia menambahkan, perannya kali ini mengajarinya banyak hal tentang kondisi kesehatan tersebut, yang sebelumnya sama sekali tak ia pahami.

"Selama ini kita seolah-olah melihat orang dengan spektrum ini dari luar dan kini saya mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda," tutupnya.

Meski karakter dengan autisme beberapa kali muncul dalam film maupun serial populer, namun baru kali ini ada film yang menjadikan karakter dengan autisme tersebut sebagai pemeran utama, terlebih mendapatkan peran sebagai superhero atau pahlawan berkekuatan super.

Sebelum film yang disutradarai Dean Israelite ini, serial kartun Sesame Street juga menambahkan karakter baru dengan autisme bernama Julia.

Produser Sesame Street juga berharap keberadaan karakter baru tersebut akan memberikan edukasi kepada anak-anak tentang mereka yang mengalami spektrum autisme atau gangguan perkembangan lainnya, termasuk mengajari mereka caranya berinteraksi dengan anak-anak lain yang mengalaminya.


Billy, si Ranger Biru (Foto: Screen Rant)

















Masih ada setumpuk persoalan yang dihadapi mereka yang mengalami autisme di tengah masyarakat, utamanya terkait stigma. Selain itu, pada dasarnya deteksinya juga sulit dilakukan mengingat gejalanya muncul belakangan.

Ambil contoh di Indonesia. Deteksi dini sulit dilakukan karena banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak menunjukkan gejala autisme. Kedua, dari segi regulator, belum ada peraturan yang dibuat untuk mendukung hal ini.

"Jika ada tanggapan dari masyarakat baru dibuat peraturannya. Apalagi karena kita baru mulai dengan sistem kesehatan umum, BPJS, kita harapkan BPJS akan concern kepada kasus autisme ini karena pemerintah juga yang akan membiayai, tapi kita masih harus menunggu. Good news-nya kita sudah mulai kesana, hopefully," ungkap Prof Irwanto, PhD, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya Jakarta beberapa waktu lalu.




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »