Penjelasan Lengkap Ishomuddin soal Jadi Saksi Ahli Sidang Ahok

11.25

Jakarta - Ahmad Ishomuddin mengatakan dirinya menjadi saksi ahli di sidang kasus dugaan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas nama pribadi. Dia mengaku tidak mewakili institusi mana pun seperti MUI, PBNU, maupun IAIN Raden Intan Lampung.

Ishomuddin menceritakan beberapa waktu lalu dia diminta oleh penasihat hukum Ahok untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaan agama yang didakwakan kepada Ahok. Menurutnya, penasihat hukum dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum di negara konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana dewan hakim dan para Jaksa Penuntut Umum.

"Karena kesadaran hukumlah saya bersedia hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15," kata Ishomuddin dalam keterangannya yang diterima detikcom.

Ishomuddin mengaku menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi risiko apa pun dengan menjadi saksi sidang tersebut, termasuk mempertaruhkan jabatan yang sejak dulu tidak pernah dimintanya baik sebagai Rais Syuriah PBNU periode 2010-2015 dan 2015-2020, maupun Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat periode 2015-2020 demi turut serta menegakkan keadilan itu.

Sebab, lanjutnya, sepertinya umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama mempersengketakan kasus Ahok. Sebagian umat yakin Ahok pasti bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah menistakan Alqurnan Surat Al-Maidah ayat 51.

"Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut segera diselesaikan di pengadilan agar di negara hukum kita tidak memutuskan hukum sendiri-sendiri. Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan, di persidangan karena diminta dan karena ingin turut serta terlibat untuk menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang terhormat," tuturnya.


Ishomuddin hadir di persidangan tersebut sebagai pribadi. Menurutnya, dia bersedia menjadi saksi ahli saat banyak orang yang diminta pihak Ahok berpikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan. Dalam hal ini, Ishomuddin menuturkan dirinya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan vonis kepadanya secara tidak adil atau zalim, yakni menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah.

Selain itu, dia hadir karena juga berharap agar seluruh rakyat Indonesia tenang dan tidak terus-menerus gaduh apa pun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan. Rakyat harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa yang main hakim sendiri di negara hukum.

"Saya hadir sebagai saksi ahli agama karena dinilai ahli oleh para penasihat hukum terdakwa dan di muka persidangan, saya tidak mengaku sebagai ahli tafsir, melainkan fiqih dan ushul al-fiqh. Suatu ilmu yang sudah sejak lama saya tekuni dan saya ajarkan kepada para penuntut ilmu," ujarnya.

"Namun, itu bukan berarti saya buta dan tidak mengerti sama sekali dengan kitab-kitab tafsir. Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari buku-buku terjemahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari orang tua dan para kiai saya di berbagai pondok pesantren," sambungnya.


Ishomuddin memaparkan dalam persidangan ke-15 itu dia menjawab dengan benar, jujur, tanpa sedikit pun kebohongan, di bawah sumpah semua pertanyaan yang diajukan, baik oleh Majelis Hakim, para Penasihat Hukum, maupun para para Jaksa Penuntut Umum (JPU). Menurutnya, kesaksian yang diberikannya berdasarkan ilmu, bukan karena dorongan hawa nafsu seperti karena ingin popularitas, uang atau keuntungan duniawi lainnya.

"Sungguh tidaklah adil dan bertentangan dengan konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki, diancam dan bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya," ucapnya.

Ishomuddin menyesalkan gelombang fitnah dan teror yang telah menimpanya, terutama di media sosial yang kebanyakan ditulis dan dikomentari tanpa tabayyun atau klarfifikasi. Menurutnya, berita yang beredar tentang dirinya dari sisi-sisi yang tidak benar langsung dipercaya dan terburu-buru disebarluaskan.

"Di antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa Alquran surat Al-Maidah ayat 51 tidak berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired. Berita itu berita bohong (hoax). Yang benar adalah bahwa saya mengatakan bahwa konteks ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzulnya terkait larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya. Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur. Adapun kini terkait pilihan politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling menghujat," ujarnya.

"Kata 'awliya' yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling kontemporer," tambahnya.

Ishomuddin mengaku mendambakan dan mencintai keadilan. Karena itu, setiap ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non muslim, maka jangan tergesa-gesa dipercaya. Tapi, lanjutnya, untuk menilai secara adil dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun maka berita itu harus diteliti dengan hati-hati benar tidaknya. Wajib dilakukan tabayyun atau klarifikasi kepada pelakunya atau ditanyakan kepada warga di tempat kejadian perkara.

"Dalam hal terkait Pak BTP (Ahok), saya tahu bahwa dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun terlebih dahulu, baik terutama kepada Pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk Kepulauan Seribu, karena MUI Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan Alquran dan Ulama. Padahal dalam Alquran diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang zalim, kepada siapa saja meskipun terhadap orang yang dibenci. Maka janganlah berlebihan dalam hal apa saja, termasuk jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa keadilan," tuturnya.

Ishomuddin menerangkan bila kemudian pendapatnya berbeda dengan Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin sebagai saksi fakta dan Wakil Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar sebagai saksi ahli agama di sidang Ahok, maka itu hal biasa, wajar, dan lazim saja. Baginya, berbeda pendapat tidak menafikan penghormatannya saya kepada dua kiai besar tersebut. Dalam hal yang didasari oleh ilmu, bukan hawa nafsu. Sebab berbeda itu biasa dan merupakan sesuatu yang berbeda dari persoalan penghormatan. Sebagai muslim, Ishomuddin mengatakan terus memerangi nafsu untuk bersikap rendah hati sepanjang hayat hidup.

"Terhadap setiap pujian kepada saya, saya tidak bangga dan saya kembalikan kepada pemilik semua pujian yang sesungguhnya, Allah Ta'ala. Sebaliknya, terhadap caci maki, celaan, fitnah dan apa saja yang menyakiti hati saya tidak kecewa dan tidak takut, karena saya menyadari keberadaan para pencaci di dunia yang sementara ini. Saya harus berani menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali tanpa keberanian, dan menjadi pengecut. Kebenaran wajib disampaikan, betapa pun pahitnya," ujarnya.

"Hanya kepada Allah saya mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga kita dijauhkan dari kezaliman, kejahatan syetan (jenis manusia dan jin), dan dijauhkan dari memperturutkan hawa nafsu," imbuhnya.




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »